JAKARTA – Belajar dari hasil penelitian yang dipimpin oleh Prof.
Ronald Albert Harris dari Universitas
Brigham Young University (BYU), beberapa gagasan mitigasi bencana gempabumi dan
tsunami dapat menjadi acuan dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Penelitian
tsunami purba di beberapa wilayah di Jawa dan pulau-pulau Sunda kecil, sebutan
dari Prof. Ron Harris. Melihat dari hasil penelitian, Ron Harris menggagas
jargon 20 – 20 – 20.
Angka itu bukan sekedar angka yang kemudian muncul begitu saja. Namun
angka ini berdasarkan kalkulasi saintifik yang memperhitungkan durasi gempa
yang terjadi, kecepatan tsunami dan wilayah evakuasi aman. Lalu apa itu 20 – 20
– 20? 20 detik gempa (5 km/det x 200 det = 100 km zona pecah), 20 menit
evakuasi (tsunami velocity) dan 20 meter ketinggian (tsunami model menunjukkan
20 m gelombang run-up). Namun Ron menyampaikan bahwa gagasan terhadap pesan itu
harus adaptable dengan konteks wilayah. “Mungkin saja di Ambon 20 – 10 – 20,
atau di Bali 20 – 20 – 10,” papar Ron Harris dalam diskusi membahas mitigasi
bencana gempabumi dan tsunami di Badan Meteorologi, Klimatoogi dan Geofisika
(BMKG) pada Jumat (4/8).
Masih dalam konteks mitigasi, Ron Harris menceritakan bahwa kelompok
masyarakat di Waingapu, Sumba Timur, tidak mengetahui sejarah tsunami di
wilayahnya. Dia menjelaskan memang hal itu dapat terjadi karena generasi yang
hidup di wilayah itu ketika siklus gempabumi dan tsunami yang ‘tidur’. Ron
menjelaskan bahwa, berdasarkan penelitian selama ini, yang menunjukkan siklus tidur-bangun-tidur,
dan mungkin bangun pada periode selanjutnya. Atau, masyarakat di Bali yang
tidak mengetahui bahwa mereka hidup di bekas endapan tsunami purba. Sang
profesor mengingatkan mungkin selama ini sebagian besar masyarakat menandai
tsunami pascagempabumi besar, padahal gempa yang tidak terasa besar namun
berdurasi lama dapat menyebabkan tsunami mematikan.
Sementara itu, ketika masyarakat diberikan kuisoner mengenai
pendekatan apa yang diinginkan saat peringatan dini. Sebagian besar masyarakat
di Pelabuhan Ratu, Pacitan, dan Pangandaran memilih sirine. Namun yang terjadi,
apakah semua sirine yang terpasang berfungsi secara baik? Di sisi lain, ketika
warga mengetahui papan mengenai arah evakuasi, pertanyaan kritis yang muncul
mengenap kapan mereka harus evakuasi. Gagasan Ron yaitu dengan menambahkan
papan seperti 20 – 20 – 20 di bawah papan arah evakuasi.
Mencermati realitas dan hasil penelitian di lapangan, Ron Harris juga
merekomendasikan untuk melihat kembali pemasangan rambu evakuasi seperti yang
terpasang di Kuta Lombok, Nusa Tenggara Barat. Rambu evakuasi tersebut
menurutnya tidak mengarahkan pada tempat yang tinggi namun arah evakuasi masih
menunjukkan wilayah yang terkena genangan tsunami. Sementara itu, upaya
mitigasi di Pulau Dewata juga membutuhkan pendekatan di beberapa sektor seperti
budaya, mengingat sesuai peraturan daerah yang mengijinkan bangunan dengan
tinggi maksimal 15 meter. Di sisi lain, berdasarkan pemodelan tsunami dari BYU
bahwa dengan gempa bermagnitudo 9 di zona subduksi selatan Bali dapat memicu
tsunami hingga lebih dari 20 meter.
Satu hal yang patut disikapi dengan serius mengenai kajian penelitian
Prof. Ron mengenai trench java dan pulau-pulau kecil sekitar. Menurutnya, tidak
ada gempabumi besar selama 111 tahun sesudah Krakatau. Selama ini masyarakat
Indonesia hidup dalam masa tanpa aktivitas gempabumi dan tsunami, sedangkan populasi
penduduk meningkat 10 kali lipat. “90% orang Indonesia tinggal di daerah
bahaya,” ucap.
Menyikapi hasil penelitian Ron Haris dan tim dari BYU, UPN Veteran,
Universitas Utah Valley (UVU), mereka selalu mempresentasikan di hadapan
pemerintah daerah setempat. Menurutnya hasil penelitian tidak hanya
dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, namun sangat penting hasil tersebut
dikomunikasikan kepada publik.
Apa yang dipaparkan oleh Ron Harris mendapatkan apresiasi tinggi dari
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hal tersebut disampaikan oleh
Direktur Kesiapsiagaan BNPB Medi Herlianto pada diskusi yang juga memaparkan
hasil penelitian BMKG mengenai paleotsunami. Saat ini, Indonesia telah memiliki
masterplan tsunami namun demikian hasil penelitian yang menghasilkan
rekomendasi dapat memperbarui strategi-strategi dalam menghadapi ancaman yang
lebih besar.
“Ini sangat penting untuk menyampaikan hasil penelitian kepada
pemerintah sehingga nantinya akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi
berharga,” ungkap Medi.
Pesan utama mengawali paparan Ron Harris siang itu (4/8) bahwa kita
jangan melupakan sejarah. Ungkapan tadi diambilnya dari Presiden Republik
Indonesia pertama, Soekarno. Ron mengatakan bahwa apa yang terjadi di masa lalu
bisa terjadi lagi di masa kini. Ini memberikan kita sinyal kuat untuk selalu
tangguh dan waspada menghadapi potensi bahaya yang dapat berujung pada bencana.
Sutopo Purwo Nugroho
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB