Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Kurangi Risiko Bencana Melalui Program Asuransi Gedung Bertingkat

Dilihat 164 kali
Kurangi Risiko Bencana Melalui Program Asuransi Gedung Bertingkat

Foto : Perekayasa Ahli Madya Pusat Riset Kebencanaan Geologi, BRIN, Drs Bambang Marwanta, M.T. d (duduk di tengah) menjelaskan konsep SIDUTAGAMI dalam program Ngopi Bareng BNPB pada Selasa (29/7). (Bidang Komunikasi Kebencanaan/Fhirlian Rizqi Utama)

JAKARTA –  Dalam upaya mitigasi risiko gempa bumi, tiga lembaga pemerintah berkolaborasi secara terpadu. BNPB mengembangkan kajian risiko bencana yang kemudian dimanfaatkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan dalam program asuransi bangunan bertingkat untuk aset gedung negara. Melengkapi kedua inisiatif tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menghadirkan SIDUTAGAMI (Sistem Gedung Tangguh Bencana Gempa Bumi), sistem inovatif yang mengukur ketahanan bangunan. 

Hal ini menjadi topik yang dibahas dalam acara “Ngopi Bareng BNPB: Road to ADEXCO 2025” edisi Juli 2025. Pada edisi ini, hadir tiga narasumber, yaitu Dr. Ir. Udrekh S.E., M.Sc (Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana, BNPB); Drs Bambang Marwanta, M.T. (Perekayasa Ahli Madya Pusat Riset Kebencanaan Geologi, BRIN); dan Encep Sudarwan. S.E., M.E. (Direktur Perumusan Kebijakan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan).

Kajian Risiko Bencana Sebagai Dasar Perencanaan Asuransi

Udrekh menegaskan pentingnya kajian risiko bencana sebagai dasar mitigasi gempa bumi. Menurutnya, kajian risiko bencana telah disediakan oleh BNPB untuk level nasional. Pemerintah daerah juga telah memiliki kewajiban untuk membuat kajian risiko bencana di tingkat kabupaten/kota. Kajian risiko bencana memuat informasi mengenai tingkat bahaya, kerentanan, kapasitas bencana di suatu wilayah. Data pasca bencana membuktikan bahwa mayoritas bangunan yang rusak akibat gempa bumi berada di wilayah dengan tingkat bahaya tinggi atau sedang pada peta yang termuat di dalam kajian risiko bencana. 

Tingkat kerusakan bangunan akibat gempa bumi tidak hanya ditentukan oleh lokasi, tetapi juga ketahanan struktural bangunan. Aspek ini merupakan bagian dari kajian kerentanan. Pada tahun ini, BNPB bekerja sama dengan DJKN Kementerian Keuangan melaksanakan kajian kerentanan bangunan sebagai dasar dalam menyusun kebijakan untuk meningkatkan kapasitas mitigasi risiko gempa bumi. 

Udrekh mendorong penggunaan platform InaRISk untuk mengakses informasi risiko bencana. InaRISK memberitahu penggunanya mengenai risiko bencana apa yang ada di tempat penggunanya berada, dilengkapi dengan langkah-langkah yang harus dilakukan jika bencananya benar-benar terjadi. Informasi risiko ini dapat diakses dengan mudah oleh siapa pun baik melalui website maupun aplikasi mobile yang tersedia untuk android dan iOS.

Proyek Kajian Kerentanan Bangunan yang sedang dijalankan oleh BNPB bersama DJKN Kementerian Keuangan memanfaatkan data dan fitur platform InaRISK. Area yang menjadi fokus kegiatan adalah Kota Jakarta dan Kota Palu. Data bangunan milik negara yang berada di kedua wilayah tersebut sudah terintegrasi ke dalam platform InaRISK.

Asuransi untuk Aset Negara

Encep Sudarwan dari DJKN Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa seluruh bangunan milik negara wajib diasuransikan sesuai Peraturan Menteri Keuangan No. 97/PMK.06/2019. Program kajian kerentanan bangunan saat ini memprioritaskan gedung kantor, fasilitas kesehatan, dan pendidikan. Ke depan, program ini akan diperluas untuk infrastruktur lain seperti jembatan dan sarana transportasi.

Konsep resilient building sedang berkembang dan implementasinya oleh pemerintah masih dalam tahap awal. Saat ini mekanisme asuransi masih menggunakan satu tarif untuk semua jenis bangunan, baik yang berada di wilayah berisiko rendah maupun tinggi.

Kolaborasi dengan lembaga penelitian diharapkan dapat memberikan mekanisme yang lebih detail dalam penerapan asuransi bangunan," tambahnya.

Inovasi SIDUTAGAMI (Sistem Gedung Tangguh Bencana Gempa Bumi)

Pada kesempatan ini, peneliti BRIN Bambang Marwanta menjelaskan terkait sistem yang dikembangan untuk mengukur kerentanan bangunan sampai menentukan premi asuransi bangunan. Sistem yang disebut dengan SIDUTAGAMI ini terdiri dari tiga komponen utama: 

1. SIKUAT (Sistem Informasi Kesehatan Struktur Gedung Bertingkat): untuk memonitoring bangunan sebelum ataupun setelah terjadi gempa, termasuk mengevaluasi kerusakan atau pergeseran yang dialami bangunan.

2. SIJAGAT (Sistem Kaji Keandalan Gedung Bertingkat): untuk mengevaluasi kekuatan struktur secara non-destruktif. 

3. SIGAP (Sistem Evaluasi Ketangguhan Gedung Bertingkat): untuk menilai keselamatan penghuni, jalur evakuasi, dan potensi bahaya ornamen gedung.

Bambang menjelaskan, data yang masuk ke dalam sistem dapat langsung dihitung menggunakan formula yang telah dipatenkan pada 2020. Formula ini menghasilkan keluaran berupa tingkat kerentanan gedung (rendah, sedang, atau tinggi) sebagai acuan penilaian. Seperti pada asuransi jiwa, SIDUTAGAMI memungkinkan penentuan premi yang proporsional: semakin tinggi risiko kerentanan bangunan, semakin besar premi asuransi yang dikenakan.

Episode “Ngopi Bareng” kali ini mengungkap bahwa upaya meminimalisasi risiko gempa bumi harus dilakukan melalui pendekatan sistematis dan kolaboratif antar lembaga. Sinergi BNPB dalam pemetaan risiko, BRIN dengan sistem monitoring SIDUTAGAMI, dan DJKN melalui program asuransi bangunan menunjukkan komitmen pemerintah dalam mitigasi bencana yang komprehensif.

Keberhasilan inisiatif ini dalam lingkup nasional membutuhkan percepatan implementasi dan perluasan kolaborasi serupa untuk melindungi lebih banyak aset dan manusia dari ancaman gempa bumi di masa depan.


Abdul Muhari, Ph.D.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB

Penulis

Admin


BAGIKAN