Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Kemandirian dalam Teknologi dan Inovasi pada Industri Kebencanaan Indonesia

Dilihat 1307 kali
Kemandirian dalam Teknologi dan Inovasi pada Industri Kebencanaan Indonesia

Foto : Para Peserta FGD yang merupakan ahli dari berbagai lintas keilmuan membahas roadmap teknologi, inovasi, dan industrialisasi di Jakarta, Kamis (21/12). (Bidang Komunikasi Kebencanaan / M. Andhika Rivaldi)

JAKARTA – Kemandirian sangat penting dalam mengembangkan industri kebencanaan. Ini harus didukung dengan teknologi dan inovasi anak bangsa untuk menjawab tantangan, salah satunya pada resiliensi berkelanjutan. 

Pembahasan kemandirian tersebut menjadi topik dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk menyusun peta jalan (roadmap)  Teknologi, Inovasi, dan Industrialisasi Kebencanaan untuk Resiliensi Berkelanjutan. Indonesia telah memulai dan terus mengembangkan upaya-upaya untuk kemandiran tersebut. Kegiatan ini berlangsung di Jakarta pada Kamis lalu (21/12). 

Selama diskusi, teknologi dan inovasi kebencanaan yang dikembangkan di Tanah Air terkuak dari penjelasan beberapa ahli. Hal tersebut seperti disampaikan ahli dari BRIN Dr. Wahyudi Hasbi, mengenai teknologi satelit. Ia mengatakan, satelit Lapan A3 dan A1 pada polar orbit dan Lapan A2 pada ekuatoral orbit. 

“Kita bisa melakukan pemantauan area bencana dengan frekuensi waktu yang cepat, yang biasanya harus menunggu 21 hari,” ujarnya. 

Hal senada disampaikan Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo. Ia menjelaskan, Indonesia mengembangkan teknologi sensor synthetic aperture radar (SAR) yang telah diaplikasikan pada berbagai platform seperti drone, microsatelit, dan pesawat. Manfaatnya sangat luas, terutama dalam sektor kebencanaan, seperti pemantauan bencana alam, pencarian dan penyelamatan, pemantauan kebakaran, dan monitoring gempa bumi. 

"Dari segmen angkasa, semuanya sudah siap" tutur Josaphat.

Masih terkait dengan sistem sensor, kali ini Dr. Michael A. Purwadi menyampaikan sistem sensor tsunami yang ditempatkan di dasar laut telah terbukti efektif dalam mendeteksi gelombang tsunami sejak sekitar 50 tahun yang lalu pada technology readiness (TRL) level 1. Indonesia telah membuat dan menguji sistem sensor tsunami pada TRL 5 dan TRL 6. 

“Beberapa keberhasilan telah dicapai, terutama dalam mendeteksi tsunami karena gempa, membutuhkan sekitar 15 menit sebelum gelombang tsunami mencapai garis pantai, mengalami peningkatan dari 5 menit pada mulanya,” tambah Michael.

Selanjutnya, Dr. M. Sadly menjelaskan dari sisi upaya Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menghadapi tantangan seismik dengan dedikasi tinggi, pengembangan teknologi termasuk high-performance computing, dan peran aktif dalam menyediakan informasi operasional 24/7 terkait cuaca dan gempa. 

“BMKG melakukan pengadaan lebih dari 500 seismograf, pengembangan Seismograph Rakyat Indonesia (SRI V1), dan fokus pada kemandirian teknologi seismograf menjadi aspek kunci dalam upaya BMKG untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan penguasaan teknologi di bidang tersebut,” tuturnya. 

Sementara itu, Profesor Hamam Riza menjelaskan tentang artificial intelligence atau AI akan membantu manusia dalam meningkatkan produktivitas dari Litbangjirap (penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan), termasuk dalam isu kebencanaan. Menurutnya AI dapat membantu dalam memahami lebih baik dan lebih cepat terkait dengan bencana. 

Pada konteks teknologi dan inovasi, BNPB juga memiliki produk aplikasi kebencanaan yang sedang dikembangkan, yaitu Disaster Knowledge Management System (DKMS). Menurut Direktur Sistem BNPB Dr. Agus Wibowo, banyak data digunakan untuk mendukung proses pengambilan keputusan dalam penanggulangan bencana. Aplikasi itu dapat menjawab proses tersebut. 

Terus Mempromosikan Resiliensi Berkelanjutan

BNPB bersama dengan CTIS, BRIN, PT Expoindo Kayanna Mandiri menyelenggarakan kegiatan yang berlangsung sehari ini. Para pakar atau ahli dengan latar belakang keilmuan yang berbeda diundang untuk memberikan masukan terhadap draf awal peta jalan pada industrialiasi kebencanaan untuk menjawab resiliensi berkelanjutan. 

Penyelenggaraan FGD didukung oleh Pemerintah Australia melalui Program Siap Siaga. 

Topik teknologi dan inovasi dalam industrialisasi kebencanaan di Tanah Air merupakan tindak lanjut Pemerintah Indonesia yang digaungkan sejak Mei 2022 silam, tepatnya Platform Global untuk Pengurangan Risiko Bencana ke-7 yang berlangsung di Provinsi Bali. 

Kala itu, Indonesia mengangkat gagasan resiliensi berkelanjutan pada forum internasional yang dihadiri banyak negara. Berselang satu tahun kemudian, ASEAN diadopsi gagasan resiliensi berkelanjutan yang tertuang pada Deklarasi Pemimpin ASEAN pada KTT di Jakarta tahun ini. 

Pemerintah Indonesia melihat, gagasan itu untuk menjawab meningkatnya risiko sistemik, dan tantangan risiko yang saling terkait yang ditimbulkan oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi yang pesat, dampak perubahan iklim, dan pemanfaatan sumber daya lahan yang tidak berkelanjutan, yang mengakibatkan konsekuensi negatif terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi tidak hanya di kawasan Asia Tenggara tetapi juga global. 


Abdul Muhari, Ph.D. 

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB

Penulis

Admin


BAGIKAN