BNPB dan SDC Swiss Gelar Seminar Digitalisasi Peta Risiko Bencana di Kota Batu
15 Jul 2025 10:16 WIB

Foto : Para peserta Seminar Digitalisasi Peta Risiko Bencana berfoto bersama dengan narasumber Prof. Syamsul Maarif, Kepala BNPB tahun 2008–2015, usai kegiatan yang berlangsung di Kota Batu, Jawa Timur pada Selasa (8/7). (Direktorat Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNP)
BATU - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Swiss Development Cooperation (SDC) menyelenggarakan Seminar Digitalisasi Peta Risiko Bencana di Kota Batu pada Selasa (8/7). Kegiatan ini menjadi momentum penting dalam mendorong pemanfaatan teknologi digital untuk memperkuat sistem penanggulangan bencana yang inklusif, adaptif, dan berbasis data.
Seminar yang dihadiri oleh lebih dari 1.000 peserta, baik secara luring maupun daring, menghadirkan beragam pemangku kepentingan dari unsur pemerintah, akademisi, dunia usaha, media, dan masyarakat. Melalui seminar ini, BNPB menekankan pentingnya transformasi digital dalam penyediaan informasi risiko yang akurat, dapat diakses publik, dan mendukung pengambilan keputusan yang tepat waktu.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB dalam sambutannya menyampaikan bahwa digitalisasi peta risiko merupakan kunci dalam menghadapi potensi krisis yang semakin kompleks. Ia menyoroti pentingnya platform InaRISK sebagai alat edukasi dan analisis risiko yang valid dan transparan. “Everything is at your fingertips — semua informasi kini dapat diakses masyarakat secara mudah dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Jawa Timur mengungkapkan bahwa provinsi ini memiliki 14 jenis ancaman bencana, termasuk tujuh gunung api aktif dan sungai besar yang berpotensi menyebabkan banjir. Ia menyampaikan bahwa Indeks Risiko Bencana (IRB) Jawa Timur terus menurun berkat kolaborasi, pelaksanaan Kajian Risiko Bencana (KRB), dan penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Namun, tantangan seperti keterbatasan anggaran dan belum meratanya pelaksanaan KRB di kabupaten/kota tetap perlu mendapat perhatian.
Dari SDC Swiss, Constance Jaillet menegaskan pentingnya keterlibatan semua pihak dalam penanggulangan bencana. Constance mendorong kolaborasi lintas sektor untuk menggunakan data risiko dalam perlindungan masyarakat. Menurutnya, informasi hanya bermanfaat jika digunakan secara aktif.
Salah satu sorotan utama seminar datang dari Prof. Syamsul Maarif, Kepala BNPB tahun 2008–2015, yang menekankan pentingnya sense of mission dalam kerja kemanusiaan. Ia menyampaikan bahwa risiko bencana bersifat spasial dan tidak mengenal batas wilayah administratif, sehingga pendekatan harus transdisipliner dan berbasis pengetahuan yang mudah dipahami oleh masyarakat.
Maarif juga menyoroti pentingnya memperkuat kapasitas relawan, mengintegrasikan UMKM dalam ekonomi kebencanaan, dan menjadikan peta risiko sebagai alat strategis dalam pengurangan risiko bencana. “Bencana bukan disebabkan hujan atau letusan, tapi karena lemahnya kapasitas kita dalam merespons peringatan yang sudah ada,” tegasnya.
Dalam sesi paparan teknis, Ridwan Yunus dari Tim Asistensi Nasional KRB menjelaskan bagaimana InaRISK menjembatani data saintifik dan kebutuhan praktis di lapangan. Dengan resolusi peta hingga 30x30 meter, InaRISK mampu memetakan risiko dari tingkat desa hingga global. Platform ini terintegrasi dengan sistem peringatan dini BMKG dan dapat digunakan secara offline melalui aplikasi InaRISK Personal, yang mendukung pelaporan masyarakat dan pemenuhan SPM.
Dari kalangan akademisi, Dr. Eng. Turniningtyas Ayu dari Universitas Brawijaya menyampaikan peran strategis perguruan tinggi dalam hilirisasi teknologi kebencanaan. Ia memaparkan pengembangan KRB berbasis Mobile GIS di kawasan pariwisata prioritas dan program mitigasi global berbasis riset di UB. Teknologi bukan hanya alat, tapi jembatan antara hasil kajian akademik dan implementasi kebijakan.
Diskusi juga membahas berbagai isu strategis, seperti integrasi data kesehatan ke dalam platform InaRISK, peran komunitas lokal dalam edukasi risiko, pendekatan kebencanaan dalam sektor pariwisata, serta penanganan bahan berbahaya dan beracun (B3) yang memerlukan pendekatan lintas wilayah dan lintas sektor.
Menutup rangkaian kegiatan, Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Udrekh, menekankan bahwa teknologi digital telah menjadi keniscayaan dalam manajemen bencana. Ia percaya bahwa peta risiko bukan sekadar visualisasi, tetapi alat penting dalam menyelamatkan nyawa. Teknologi memungkinkan pemangku kebijakan untuk merencanakan secara lebih cepat, tepat, dan berbasis data.
BNPB menyampaikan apresiasi kepada seluruh mitra, narasumber, dan peserta atas partisipasi aktif dalam kegiatan ini, serta berharap sinergi yang terbangun dapat terus diperkuat dalam membangun ketangguhan bangsa menghadapi risiko bencana.
Abdul Muhari, Ph.D.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB
Admin