Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

Dilihat 16413 kali
Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

Foto : Perka BNPB No. 1/2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana ()

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan untuk melindungi masyarakat dari ancaman bencana. Salah satu strategi untuk mewujudkan hal ini adalah melalui pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK). Dalam PRBBK, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melaksanakan PRBBK dengan mengembangkan program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana). Program Destana dari tahun 2012 s/d 2015 mencapai 266 desa/kelurahan di seluruh Indonesia. Dalam tahun 2016, rencananya BNPB akan mengembangkan Destana ke 100 desa/kelurahan lagi.1 Sebagai rujukan dalam mengimplementasikan program Destana adalah Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Perka BNPB No. 1/2012). Peraturan ini ditetapkan oleh Kepala BNPB, Syamsul Maarif pada tanggal 10 Januari 2012 di Jakarta. Tujuan Perka BNPB No. 1/2012 adalah untuk:
  1. Memberikan panduan bagi pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam pengembangan Destana sebagai bagian upaya PRBBK.
  2. Memberikan acuan pelaksanaan pengembangan Destana bagi aparatur pelaksana dan pemangku kepentingan pengurangan risiko bencana (PRB).
Ruang lingkup pedoman ini berlaku untuk pengembangan desa/kelurahan tangguh di kabupaten/kota yang rawan bencana. Pedoman juga dapat digunakan sebagai acuan dalam memasukkan unsur-unsur PRB ke dalam program-program lain di tingkat desa/kelurahan, yang dilakukan oleh pemerintah maupun mitra-mitra non-pemerintah. Isi peraturan ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu batang tubuh Perka BNPB No. 1/2012 (3 pasal dan 3 halaman) dan lampiran pedoman (41 halaman). Substansi isi peraturan terdapat dalam lampiran pedoman tersebut. Struktur isi pedoman dalam Perka BNPB No. 1/2012 antara lain:
  1. Bab I Pendahuluan (Latar Belakang; Tujuan; Landasan Hukum; Ketentuan Umum; Ruang Lingkup dan Sistematika)
  2. Bab II Kebijakan dan Strategi (Kebijakan; Strategi).
  3. Bab III Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Prinsip-prinsip; Kriteria Umum; Peran Pemerintah di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan
  4. Bab IV Kegiatan dalam Rangka Mengembangkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Pengkajian Risiko Desa/Kelurahan; Perencanaan PB dan Perencanaan Kontinjensi Desa/Kelurahan; Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan; Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam PB; Pemaduan PRB ke dalam Rencana Pembangunan Desa/Kelurahan dan Legalisasi; Pelaksanaan PRB di Desa/Kelurahan; Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Program di tingkat Desa/Kelurahan).
  5. Bab V Penutup.
  6. Lampiran.
Hal-hal dasar dalam peraturan ini menyangkut pengertian masyarakat, desa/kelurahan, dan desa/kelurahan tangguh bencana. Disini masyarakat atau komunitas dimaknai sebagai kelompok orang yang hidup dan saling berinteraksi di daerah tertentu, yang dapat memiliki ikatan hukum dan solidaritas yang kuat karena memiliki satu atau dua kesamaan tujuan, lokalitas atau kebutuhan bersama; misalnya, tinggal di lingkungan yang sama-sama terpapar pada risiko bahaya yang serupa, atau sama-sama telah terkena bencana, yang pada akhirnya mempunyai kekhawatiran dan harapan yang sama tentang risiko bencana.

Sementara itu pengertian desa mengacu kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004). Pengertian desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedangkan pengertian kelurahan adalah sebuah unit administrasi pemerintah di bawah kecamatan yang berada dalam sebuah kota. Kelurahan setara dengan desa, yang merupakan bagian dari kecamatan yang berada di kabupaten, tetapi kelurahan hanya memiliki kewenangan yang terbatas dan tidak memiliki otonomi luas seperti yang dimiliki sebuah desa.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pascabencana. Dalam Destana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.

Tujuan khusus pengembangan Destana ini adalah:
  1. Melindungi masyarakat di kawasan rawan bahaya dari dampak-dampak merugikan bencana.
  2. Meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya kelompok rentan, dalam pengelolaan sumber daya untuk mengurangi risiko bencana.
  3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan pemeliharaan kearifan lokal bagi PRB.
  4. Meningkatkan kapasitas pemerintah dalam memberikan dukungan sumber daya dan teknis bagi PRB.
  5. Meningkatkan kerjasama antara para pemangku kepentingan dalam PRB, pihak pemerintah daerah, lembaga usaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyakarat (LSM), organisasi masyarakat, dan kelompok-kelompok lainnya yang peduli.
Komponen-komponen Destana antara lain: (1) Legislasi, (2) Perencanaan, (3) Kelembagaan, (4) Pendanaan, (5) Pengembangan kapasitas, dan (6) Penyelenggaraan PB. Strategi untuk mewujudkan Destana antara lain meliputi:
  1. Pelibatan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan secara fisik, ekonomi, lingkungan, sosial dan keyakinan, termasuk perhatian khusus pada upaya pengarusutamaan gender ke dalam program.
  2. Tekanan khusus pada penggunaan dan pemanfaatan sumber daya mandiri setempat dengan fasilitasi eksternal yang seminimum mungkin.
  3. Membangun sinergi program dengan seluruh pelaku (kementerian/lembaga atau K/L, organisasi sosial, lembaga usaha, dan perguruan tinggi) untuk memberdayakan masyarakat desa/kelurahan.
  4. Dukungan dalam bentuk komitmen kebijakan, sumber daya dan bantuan teknis dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa sesuai kebutuhan dan bila dikehendaki masyarakat.
  5. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan potensi ancaman di desa/kelurahan mereka dan akan kerentanan warga.
  6. Pengurangan kerentanan masyarakat desa/kelurahan untuk mengurangi risiko bencana.
  7. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi dan beradaptasi dengan risiko bencana.
  8. Penerapan keseluruhan rangkaian manajemen risiko mulai dari identifikasi risiko, pengkajian risiko, penilaian risiko, pencegahan, mitigasi, pengurangan risiko, dan transfer risiko.
  9. Pemaduan upaya-upaya PRB ke dalam pembangunan demi keberlanjutan program.
  10. Pengarusutamaan PRB ke dalam perencanaan program dan kegiatan lembaga/institusi sosial desa/kelurahan, sehingga PRB menjiwai seluruh kegiatan di tingkat masyarakat.
Upaya PRB yang menempatkan warga masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana sebagai pelaku utama, sebagai subyek yang berpartisipasi dan bukan obyek, akan lebih berkelanjutan dan berdaya guna. Masyarakat yang sudah mencapai tingkat ketangguhan terhadap bencana akan mampu mempertahankan struktur dan fungsi mereka sampai tingkat tertentu bila terkena bencana. Program Destana dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut: (1) Bencana adalah urusan bersama, (2) Berbasis PRB, (3) Pemenuhan hak masyarakat, (4) Masyarakat menjadi pelaku utama, (5) Dilakukan secara partisipatoris, (6) Mobilisasi sumber daya lokal, (7) Inklusif, (8) Berlandaskan kemanusiaan, (9) Keadilan dan kesetaraan gender, (10) Keberpihakan pada kelompok rentan, (11) Transparansi dan akuntabilitas, (12) Kemitraan, (13) Multi ancaman, (14) Otonomi dan desentralisasi pemerintahan, (15) Pemaduan ke dalam pembangunan berkelanjutan, dan (16) Diselenggarakan secara lintas sektor.

Tingkat ketangguhan sebuah desa/kelurahan dalam menghadapi bencana dibagi kedalam tiga kriteria, yaitu:
  1. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama (skor 51-60).
  2. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya (skor 36-50).
  3. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama (skor 20-35).
Ketiga kriteria Destana itu diperoleh dari pengisian kuisoner yang berisi pertanyaan-pertanyaan terkait aspek dan indikator Destana. Kuesioner ini terdiri dari 60 butir pertanyaan yang dikelompokkan berdasarkan aspek-aspek ketangguhan dan isu-isu terkait kebencanaan lainnya. Pertanyaan disusun dengan jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’ dan setiap jawaban ‘Ya’ akan diberi skor 1, sementara jawaban ‘Tidak’ akan diberi skor 0.

Indikator-indikator dalam ketiga kriteria Destana antara lain:
1. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama, dengan indikator sebagai berikut:
a. Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk perdes atau perangkat hukum setingkat di kelurahan.
b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan dirinci ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa).
c. Adanya Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/kelurahan, yang berfungsi dengan aktif.
d. Adanya Tim Relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya
e. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan.
f. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.
2. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya, dengan indikator sebagai berikut:
a. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa/kelurahan.
b. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa.
c. Adanya Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif.
d. Adanya Tim Relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif.
e. Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, tetapi belum terlalu teruji.
f. Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis.
5
3. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama, dengan indikator sebagai berikut:
a. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa/kelurahan.
b. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB.
c. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk Forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat.
d. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk Tim Relawan PB Desa/Kelurahan.
e. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan.
f. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengimplementasikan Destana antara lain:
1. Pengkajian risiko desa/kelurahan (menilai ancaman, menilai kerentanan, menilai kapasitas, menganalisis risiko bencana).
2. Perencanaan PB dan perencanaan kontinjensi desa/kelurahan (RPB Desa/Kelurahan dan Renkon Desa/Kelurahan).
3. Pembentukan Forum PRB Desa/Kelurahan.
4. Peningkatan Kapasitas Warga dan Aparat dalam PB.
5. Pemaduan PRB ke dalam rencana pembangunan desa/kelurahan dan legalisasi.
6. Pelaksanaan PRB di desa/kelurahan
7. Pemantauan, evaluasi dan pelaporan program di tingkat desa/kelurahan
Pada akhir program Destana perlu dilakukan evaluasi guna menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah program telah memberikan kontribusi untuk pengurangan risiko?
2. Apakah program telah berkontribusi pada mitigasi ancaman?
3. Apakah program dapat menghilangkan atau mengurangi kerentanan dan mengembangkan kapasitas/kemampuan warga masyarakat maupun aparat pemerintah di berbagai tingkat?
4. Apakah program berhasil memobilisasikan sumber daya setempat untuk upaya-upaya pengurangan risiko bencana?
5. Apakah ada komitmen dari pemerintah desa, kelurahan, kabupaten, kota dan provinsi dalam keberlanjutan program? --- dp ---
-------------------------------
Djuni Pristiyanto
Penulis di Bidang Kebencanaan dan Lingkungan, Fasilitator LG-SAT dan Kota Tangguh Bencana, Moderator Milis Bencana (https://groups.google.com/group/bencana) dan Milis Lingkungan (http://asia.groups.yahoo.com/group/lingkungan). Email: [email protected].
Penulis

Admin


BAGIKAN