Penanganan Wilayah Terdampak Likuifaksi Pascagempa Sulteng
15 Okt 2018 21:50 WIB

Foto : Penanganan Wilayah Terdampak Likuifaksi Pascagempa Sulteng ()
PALU - Memasuki hari ke-19 pascagempa Sulawesi Tengah, penanganan wilayah terdampak likuifaksi masih menjadi salah satu prioritas Komando Tugas Gabungan Terpadu (Kogasgabpad). Hal tersebut disebabkan potensi bahaya penyebaran oleh vektor, seperti lalat, kecoa, atau tikus. Banyaknya korban meninggal yang belum dapat dievakuasi mendorong Kogasgabpad melakukan upaya antisipasi.
Upaya yang telah dilakukan yaitu melakukan fogging atau penyemprotan di wilayah-wilayah yang dapat dijangkau di Petobo dan Balaroa. Penyemportan juga dilakukan di halaman rumah sakit yang digunakan untuk pengumpulan jenazah yang berhasil dievakuasi. Tindakan ini merupakan upaya untuk membasmi vektor yang dapat mengancam kesehatan lingkungan. Namun untuk solusi jangka panjang, penimbunan wilayah terdampak likuifaksi harus segera dilakukan.
Sementara itu, Kepala Pusat Krisis Kementerian Kesehatan dr. Ahmad Yurianto merekomendasikan penimbunan di wilayah terdampak likuifaksi; seperti di wilayah Petobo yang lapisan tanahnya terangkat akan ditimbun. Terkait perlu atau tidaknya fogging dengan disinfektan untuk para korban meninggal yang tidak dapat dievakuasi, Yurianto menjelaskan bahwa hal tersebut tidak efektif.
Yurianto menyampaikan bahwa penggunaan zat disinfektan justru akan menghambat proses alami pembusukan yang akan memperlama proses tersebut. Cara terbaik adalah menimbun dengan tanah seperti selayaknya memakamkan jenazah dalam kehidupan masyarakat sehari hari. “Pertimbangan terbaik dalam penanganan jenazah yang belum diketemukan setelah hari ke-7 adalah dengan tetap memakamkan di lokasi yang diduga jenazah itu berada,” ujar Yurianto melalui pesan pendek beberapa hari lalu (12/10).
“Ini adalah bentuk penghormatan terhadap jenazah tersebut, di samping kemungkinan untuk bisa menemukan jenazah dalam keadaan utuh sangat kecil kemungkinannya, penggalian jenazah juga sangat berisiko terhadap penyebaran dan penularan bakteri-bakteri berbahaya bagi kesehatan lingkungan sekitar.”
Menurutnya, upaya pencegahan lain yaitu pengecekan kualitas air tanah secara berkala.
Sehubungan dengan potensi bahaya pascagempa di wilayah terdampak likuifaksi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melakukan analisis secara spasial terkait dengan identifikasi aliran air permukaan. Sementara itu, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP)/Basarnas sesuai dengan diskusi antara Pemerintah Provinsi dan BNPB bahwa operasi pencarian dan evakuasi dihentikan pada 11 Oktober 2018. Namun demikian, Basarnas tetap menyiagakan personel untuk asistensi. Apabila ada laporan warga untuk evakuasi, Basarnas wilayah Palu akan menindaklanjuti laporan tersebut. Hal ini disampaikan oleh Direktur Operasi Basarnas Brigjen TNI (Mar) Bambang Suryo beberapa waktu lalu (10/10) di Pos Pendamping Nasional, Kota Palu.
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa likuifaksi pascagempa Sulawesi Tengah (Sulteng) menyebabkan pengangkatan dan amblesan di Balaroa, Kota Palu, sedangkan jumlah perkiraan rumah terdampak mencapai 1.045 unit. Areal terdampak mencapai 47,8 hektar. Jumlah perkiraan rumah terdampak di Petobo, Kota Palu mencapai 2.050 unit dengan luas area 180 hektar. Dampak likuifaksi di Jono Oge, Sigi, mencapai 366 unit dengan luas area 202 hektar.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Provinsi Sulteng Ridwan Mumu dalalm rapat klaster hunian pada Senin (15/10) menyampaikan bahwa lokasi Balaroa dan Petobo akan ditimbun terlebih dahulu, ditetapkan sebagai pemakaman massal, dan menutup lokasi tersebut. Nantinya tidak boleh lagi ada pembangunan karena akan dibuat sebagai kawasan hijau dan monumen di dua lokasi tersebut.
Likuifaksi merukan fenomena yang terjadi ketika tanah yang jenuh atau agak jenuh kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat adanya tegangan, seperti getaran gempa bumi. Sementara itu, berdasarkan penelitian Badan Geologi pada 2012 menyebutkan bahwa wilayah Palu merupakan wilayah dengan potensi likuifaksi sangat tinggi.
Gempa yang mengguncang beberapa wilayah di Sulawesi Tengah, Sigi, Donggala dan Palu, pada akhir September lalu mengakibatkan ribuan jiwa meninggal dunia dan luka berat. dan lebih dari 87.000 mengungsi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah memperpanjang status tanggap darurat hingga 26 Oktober 2018.
Kolonel Inf. Teguh Pudji Rahardjo
Kapen Kogasgabpad
Joint Information Center
Kantor Gubernur Sulawesi Tengah
Jl. Samratulangi No. 101, Kota Palu, Sulawesi Tengah
Penulis