Lokakarya Kolaborasi dan Instrumen Peringatan Dini Banjir Lahar Hujan
14 Nov 2024 17:35 WIB

Foto : Deputi Bidang Pencegahan Prasinta Dewi pada pembukaan lokakarya yang bertema ‘Stakeholders Collaboration and Instrumentation in Volcano Early Warning System’, Kamis (14/11). (BNPB)
JAKARTA – Sejumlah gunung api di wilayah Indonesia tidak hanya menyebabkan bahaya primer tetapi juga bahaya sekunder, di antaranya banjir lahar hujan. Menyikapi ancaman tersebut, sistem peringatan dini menjadi upaya pengurangan risiko bencana untuk meminimalkan dampak erupsi.
Peringatan dini bahaya sekunder menjadi pembahasan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama para pemangku kepentingan dalam lokakarya yang berlangsung di Cibubur, pada 14 – 15 November 2024. Hal tersebut merupakan refleksi dari bencana banjir bandang yang diikuti material vulkanik pascaerupsi Gunung Marapi di wilayah Provinsi Sumatra Barat pada Mei 2024 lalu. Namun, dengan fenomena erupsi gunung api yang ada di Indonesia dan potensi curah hujan tinggi, peringatan dini banjir lahar hujan sangat dibutuhkan para pemangku kepentingan. Ini dapat menyelamatkan masyarakat, khususnya mereka yang berada di sekitar sungai yang berhulu di puncak gunung.
BNPB mengidentifikasi banjir lahar hujan masih berpotensi di beberapa wilayah yang lain, seperti pascaerupsi Gunung Ibu di Maluku Utara dan Gunung Lewotobi Laki-laki di Nusa Tenggara Timur.
Pada pembukaan lokakarya yang bertema ‘Stakeholders Collaboration and Instrumentation in Volcano Early Warning System’, Deputi Bidang Pencegahan BNPB Prasinta Dewi mengatakan, penguatan sistem peringatan dini bahaya terkait aktivitas vulkanik dan curah hujan tinggi sudah saatnya mendapatkan penguatan. Sistem peringatan dini tadi dapat memberikan informasi dan memantau risiko, mendiseminasikan peringatan dini serta memberikan penguatan respons masyarakat.
“Ini akan mampu menyelamatkan jiwa dan mengurangi dampak dan kerugian harta benda,” ujar Deputi Prasinta, pada Kamis (14/11).
Prasinta Dewi mengatakan, bencana letusan gunung api dapat mengakibatkan dampak luasan seperti awan panas, gempa bumi, longsoran, gerakan tanah, dan jika disertai hujan lebat dapat menjadi lahar hujan.
“Erupsi gunung api merupakan multi ancaman bencana yang melibatkan banyak pihak dalam melakukan penanggulangan bencana,” tambahnya.
Sementara itu, Program Manajer DRM dari Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC) Constance Jaillet menyampaikan, sistem peringatan dini sangat dibutuhkan untuk upaya aksi dini, seperti mengantisipasi peristiwa yang terjadi di Sumatra Barat beberapa waktu lalu.
“Sistem peringatan dini berbasis masyarakat sangat penting untuk diterapkan, yang mengintegrasikan Lembaga-lembaga teknis, memanfaatkan teknologi di lapangan dan menggabungkan prakiraan cuaca dengan pengamatan lapangan,” katanya.
Constance menambahkan, pendekatan tersebut akan memungkinkan evakuasi penduduk di daerah berisiko tinggi secara tepat waktu.
Lokakarya yang didukung SDC ini menghadirkan pembelajaran peringatan dini pada konteks Gunung Api Merapi, Gunung Api Marapi dan Gunung Api Semeru.
Sekilas mengenai gunung api, Indonesia memiliki 127 gunung api aktif yang berada pada jalur cincin api. Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dari total jumlah gunung api, saat ini tujuh berstatus aktivitas vulkanik level III dan satu lagi pada level IV.
Hadir pada lokakarya dua hari ini perwakilan dari unit kerja di BNPB, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, BMKG, PVMBG, BPPTKG, BPBD DI Yogyakarta, BPBD Provinsi Sumatra Barat dan BPBD Kabupaten Lumajang.
Abdul Muhari, Ph.D.
Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB
Admin