Mulailah mengetik pada pencarian di atas dan tekan tombol kaca pembesar untuk mencari.

Kearifan Lokal Sebagai Mitigasi Bencana Sumatra Barat

Dilihat 64 kali
Kearifan Lokal Sebagai Mitigasi Bencana Sumatra Barat

Foto : Kepala BNPB Letjen TNI Dr. Suharyanto, S.Sos., M.M saat menjadi pembicara pada Kuliah Umum tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia bertempat di Kampus Universitas Andalas, Kota Padang, Sumatra Barat pada Rabu (7/5). (Bidang Komunikasi Kebencanaan/Muhammad Arfari Dwiatmodjo)

KOTA PADANG - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Dr. Suharyanto, S.Sos., M.M., melanjutkan kegiatan di wilayah Provinsi Sumatera Barat dengan menjadi pembicara pada Kuliah Umum tentang Penanggulangan Bencana yang dihelat di Kampus Universitas Andalas, Kota Padang, Sumatra Barat pada Rabu (7/5).

Kesempatan ini dijadikan momentum oleh Kepala BNPB untuk mengingatkan kearifan lokal yang dimiliki oleh Sumatra Barat dari masa lampau, untuk dapat menjadi sebuah kekuatan mitigasi bagi masyarakat untuk tangguh menghadapi bencana.

“Nenek moyang kita itu mereka sudah tahu, sudah berusaha memberikan kearifan lokal, ini terbukti tahun 2022 terjadi gempabumi di Pasaman dan Pasaman Barat. Rumah-rumah modern yang dibangun pakai batu bata roboh dan hancur. Tapi rumah gadang, justru selamat rumahnya tidak apa-apa,” kata Suharyanto.

“Artinya orang tua kita dulu lebih prepare lebih paham. Karena dibuat sedemikian rupa sampai tiangnya di atas batu, kalau digoyang gempa tidak roboh, berbeda dengan dimasukan langsung ke dalam tanah,” tambahnya.

Tidak hanya memiliki konstruksi yang tahan gempa, rumah gadang tidak dibangun di dekat pantai sebagai salah satu mitigasi tsunami.

“Rumah gadang tidak dibangun di tepi pantai, karena sudah tahu ada kemungkinan tsunami,” ucap Suharyanto.

Selain rumah gadang, terdapat pula rumah adat Nias yang juga memiliki fungsi sebagai rumah tahan gempa karena struktur bangunan yang dibuat ada penyangga di antara tiang.

“Gempa Nias 2005 ada kearifan lokal, rumah-rumah di Nias ada penyangga struktur, rumah ini tidak rusak. Rumah adat Nias dengan penyangga ini sebagai bangunan tahan gempa,” tuturnya.

Kepala BNPB juga menceritakan rumah adat di wilayah lain yang memiliki kearifan lokal sebagai bentuk kesiapan menghadapi bencana, yaitu rumah panggung.

“Pembelajaran lainya rumah panggung ada maksudnya, ketika ada banjir mereka selamat. Di Kalimantan setiap tahun mereka banjir, tapi mereka tidak mengungsi karena rumah mereka sudah rumah panggung semua,” kata Suharyanto.

Sehingga dirinya berharap para mahasiswa ataupun akademisi untuk kembali mencari budaya ataupun kearifan lokal di wilayahnya masing-masing yang bisa saja menambah kemampuan masyarakat dan meminimalisir dampak bencana.

“ini penting untuk menggali kearifan lokal,” imbuhnya.

Antisipasi Megathrust di Sumatra Barat

Kepala BNPB pun membeberkan beberapa potensi bencana megathrust yang telah dan mungkin akan terjadi di wilayah Sumatra barat.

“Ada tiga zona megathrust di Sumatera Barat, zona megathrust Nias tahun 1861 dan 2005 sudah terjadi gempa, zona megathrust Pagai Selatan pada tahun 1833 dan 2007, zona megathrust Mentawai tahun 1797 sampai sekarang belum lepas,” ungkap Suharyanto.

Dirinya mengatakan dampak dari megathrust diperkirakan berdampak pada tiga lokasi.

“Apabila megathrust terjadi di pesisir Kota Padang, dampaknya akan terjadi di Bandara Internasional Minangkabau, pemukiman dan sungai serta pelabuhan karena lebih rendah daripada laut,” imbau Suharyanto.

“Kawasan bandara, runwaynya hanya berjarak 400 meter dari bibir pantai, dengan potensi tergenang 3 meter,” tuturnya.

Langkah yang selanjutnya untuk mengurangi dampak akibat tsunami ialah dengan membuat sempadan pantai yang berisikan pohon-pohon sehingga bisa mereduksi tinggi gelombang dan juga arus tsunami sebelum menyentuh bandara.

“Ke depan kita bahu membahu, dipinggir menjadi kawasan hutan pantai yang dibuat untuk menjadi pelindung bandara internasional Minangkabau,” ungkapnya.

Tempat terdampak selanjutnya ialah pantai-pantai di Kota Padang memiliki bebatuan yang bisa saja menjadi faktor lain yang dapat memperparah dengan terbawa gelombang tsunami.

“Saat ini bibir pantai di Kota Padang, diperkuat dengan batu-batu. Untuk kondisi normal baik mencegah abrasi pantai tetapi ketika terjadi tsunami, bisa menjadi peluru karena akan terpental langsung menuju ke pemukiman menghantam rumah-rumah,” jelasnya.

Dirinya mengungkap fakta bahwa saat tsunami di Aceh, kapal-kapal besar terbawa gelombang tsunami hingga ke pemukiman warga dan merusak bangunan yang dilewati.

“Waktu tsunami aceh, kapal sebesar itu bisa sampai ke darat, apalagi batu-batu yang ada di sepanjang pantai itu. Ini perlu dipikirkan untuk masa depan.” tegas Suharyanto.

Ketiga, kawasan yang rawan akan tsunami ialah wilayah-wilayah di Kota Padang yang memiliki sungai.

“Kemudian di kawasan sungai, arus tsunami lebih cepat ketika melewati sungai yang melalui pemukiman,” ujarnya.

Menanggapi potensi bencana tersebut, pemerintah terus berupaya meningkatkan kemampuan masyarakat dengan cara melakukan simulasi evakuasi secara berulang di tempat-tempat yang berpotensi.

“Terkait itu sudah dilakukan simulasi kedaruratan, di Mentawai ketika ada gempa dan tsunami waktu menyelamatkan diri hanya 7 menit. Untuk Kota Padang  sekitar 20 sampai 25 menit. Ini perlu dilatih kepada masyarakat, jadi masyarakat tahu ketika ada informasi bencana harus lari ke tempat aman,” harap Suharyanto.

Kelalaian Picu Korban Berjatuhan

BNPB terus berupaya mengimbau masyarakat, khususnya yang berada wilayah yang berpotensi terjadinya bencana, untuk tetap waspada dan jangan lengah. Mungkin saja bencana tidak terjadi saat ini, namun kita tidak tahu bencana akan datang. Banyak korban berjatuhan, yang diakibatkan lengah dan lalainya masyarakat saat mengetahui adanya potensi bencana.

“17 Desember 2023 terjadi korban erupsi Gunung Marapi, padahal waktu itu Gunung Marapi statusnya level 3, artinya tidak boleh ada aktivitas di sekitar gunung. Akibat kelalaian ada pendaki gunung yang naik, 23 orang menjadi korban meninggal dunia,” katan Suharyanto.

“Untuk urusan lahar tidak ada yang hebat, tidak ada yang kebal. Mohon ketika level 3 sudah jangan mendaki dan harus dipatuhi,” lanjutnya.

Beberapa bulan setelah erupsi tersebut, ternyata bencana susulan pun terjadi. Pascahujan lebat di puncak Gunung Marapi, terjadilah banjir lahar dingin atau yang biasa disebut Galodo oleh masyarakat Sumatra Barat.

“Setelah selesai erupsi, laharnya tidak turun ke bawah tapi mengumpul di bibir kawah, tiba2 turun hujan dan timbullah banjir lahar dingin di Mei 2024. 62 orang meninggal dunia,” ungkapnya.

Sampai saat ini proses penanganannya masih terus dilakukan.

“Masyarakat yang tinggal dibawah radius 5 km dari gunung sudah tidak ada. Sungai-sungai di Marapi juga banyak, warga di bantaran sungai sudah direlokasi sudah dipindahkan,” jelas Suharyanto.

Selain merelokasi warga, BNPB pun telah memasang Early Warning System di sejumlah titik sungai yang mengarah ke pemukiman warga.

“Untuk supaya mencegah tahun-tahun berikutnya tidak terjadi lagi, kami memasang alat peringatan dini. Jadi ketika hujan deras, permukaan air sungai naik, sirine ini bunyi agar masyarakat menjauhi wilayah sungai,” kata Suharyanto

Bencana lain yang sering terjadi ialah bencana hidrometeorologi basah. Sepanjang tahun 2024 terdapat 12 kabupaten kota di Sumatra Barat terdampak dari banjir, tanah longsor dan pohon tumbang. Kejadian tersebut sebabkan 39.314 warga terdampak dan 78.877 mengungsi serta 27 orang meninggal dunia

Di akhir kuliah umum, dilakukan simbolis kerjasama Kemitraan Pemerintah Australia - Indonesia - SIAP SIAGA, dalam peran strategis lembaga akademik dalam mendukung penguatan analisis dan inovasi di sektor Penanggulangan Bencana.

“Australia lewat program Siapsiaga lakukan kerjasama dengan BNPB khusus untuk Universitas Andalas,” ucapnya.

Selain itu BNPB dan Universitas Andalas telah memiliki nota kesepahaman di bidang Tri Dharma perguruan tinggi di bidang penanggulangan bencana. 

Meninjau Rumah Sakit Universitas Andalas

Rangkaian kegiatan dilanjutkan dengan meninjau Rumah Sakit (RS) Universitas Andalas bersaa Gubernur Sumatra Barat yang dijadikan sebagai RS rujukan bencana bagi masyarakat di Kota Padang. 

“Kaitannya karena letak RS istimewa terletak di ketinggian dan merupakan bangunan tahan gempa, dapat menjadi salah satu alternatif tempat evakuasi apabila bencana gempabumi dan tsunami terjadi. BNPB menjalin kerjasama, bukan terkait urusan kesehatan semata tapi terkait fasilitas peralatan perlengkapan apabila suatu saat terjadi bencana dan menjadi tempat evakuasi,” pungkasnya

Kepala BNPB beserta Gubernur Sumatra Barat melakukan kunjungan ke beberapa fasilitas rumah sakit, seperti ruang operasi dan ruang instalasi gawat darurat yang dapat dipergunakan untuk melayani korban bencana. Selain itu juga meninjau fasilitas lain yang dapat dipergunakan untuk tempat evakuasi akhir dari masyarakat.

Apel Kesiapsiagaan Kota Padang

Pada kesempatan berbeda, Sekretaris Utama BNPB Dr. Rustian, S.Si., Apt., M.Kes memimpin Apel Gelar Pasukan dan Peralatan bertempat di Monumen Tugu Gempa di Kota Padang, Sumatra Barat pada Rabu (7/6). 

Dalam arahannya, Sekretaris Utama menyampaikan pentingnya apel kesiapsiagaan ini untuk mengetahui sejauh mana kemampuan pemerintah daerah baik secara personel maupun peralatan dalam menghadapi bencana.

“Kehadiran kita sore ini menjadi kewaspadaan kita menghadapi bencana yang akan terjadi dan menandakan Kota Padang bersatu-padu bersama seandainya terjadi bencana,” ucap Rustian.

Selanjutnya, Ia berharap kepada seluruh komponen pentaheliks di bidang kebencanaan untuk secara rutin melakukan simulasi dan menjadi lebih siap untuk menghindari jatuhnya korban jiwa.

“Jalur evakuasi dan tempat evakuasi harus dipastikan dan harus ada pelatihan untuk mengingatkan yang harus dilakukan masyarakat,” pungkasnya. 



Abdul Muhari, Ph.D.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB

Penulis

Admin


BAGIKAN